Rabu, 16 September 2015

Yuk Berhenti Bermain Gadget Saat Menyusui




Pada era digital seperti sekarang ini, kita memang sulit lepas dari gadget. Tak terkecuali, para ibu menyusui, entah itu untuk membalas pesan atau update status di media sosial. 


Konselor laktasi Muji Hananik dari Rumah Sakit Bunda, Jakarta, mengatakan, seorang ibu seharusnya fokus pada bayinya saat menyusui. "Konsen kalau menyusui, jangan main handphone. Enggak boleh, ya. Kita kan harus sabar. Ajak bayi komunikasi, melakukan stimulasi," kata Muji dalam diskusi di RS Bunda, Jakarta, Sabtu (12/9/2015). 



Stimulasi kepada bayi dilakukan dengan mengajaknya berbicara, menyentuh, atau mengajak senyum. Hal-hal seperti itu dapat meningkatkan ikatan antara ibu dan bayi atau bonding. Fokus kepada bayi juga akan membuat ibu dan bayi nyaman dalam proses menyusui. 



Hal senada dikatakan terapis hypno-breastfeeding Fonda Kuswandi. Fonda mengaku pernah mendapati ibu yang mengalami lecet pada putingnya karena digigit oleh sang buah hati saat menyusui. Ternyata, ibu tersebut saat itu menyusui sambil bermain handphone. 



"Sekarang digital banget. Please, kalau lagi menyusui, jangan sambil main gadget," kata Fonda lagi. 



Ia menjelaskan, saat menyusui, bayi biasanya akan menatap ke arah mata ibu. Saat itulah terjadi kontak mata antara ibu dan bayi sehingga menjadi saat yang baik untuk berkomunikasi. 



"Bayangin kalau ibu ngajak bapak ngomong, tetapi bapak lagi sibuk nonton Piala Dunia, nengok enggak? Enggak, kan. Rasanya sakit, kesal. Nah, itu yang dirasakan bayi juga," kata Fonda. 



Isapan bayi pada payudara ibu sangat penting untuk meningkatkan hormon prolaktin, salah satu hormon yang menghasilkan ASI. Untuk itu, perlu fokus saat menyusui dan perhatikan cara menyusui yang benar. 



Tetap fokus pada bayi juga membantu Anda mengetahui apakah bayi sudah selesai menyusui atau belum, apakah bayi sudah kenyang, dan sebagainya. Hal ini tentunya dapat mendukung terlaksananya ASI eksklusif selama 6 bulan dan pemberian ASI hingga 2 tahun.



Sumber : kompas.com

#SAYANGANAK

Selasa, 15 September 2015

Anak Demam Di Rumah? Lakukan Tips Ini!



Melihat sang buah hati demam pasti membuat orang tua menjadi khawatir. Kesembuhan anak selagi waktu sakit memang hal yang sangat diharapkan sekali. Untuk agar sang buah hati cepat sembuh, tentu ada penangan dari orang tua yang paling pertama khususnya saat sang buah hati demam di rumah. Untuk mengatasi hal tersebut mari kita cari tahu bagaimana cara menangani anak demam di rumah.

Ukurlah suhu tubuh anak anda dengan termometer. Penilaian suhu melalui sentuhan tangan sangat tidak akurat. Jangan berpikir bahwa keparahan penyakit tergantung dari tingginya demam. Banyak penyakit berat dan mematikan yang tidak disertai dengan demam tinggi.

Hal-hal yang harus diperiksa saat anak ada demam adalah:

1. WARNA KULIT

- Perhatikan warna kulit, bibir dan lidah, apakah ada perubahan warna?
- Anda harus khawatir jika bibir tampak biru atau pucat, dan kulit berbercak-bercak seperti marmer.

2. TINGKAT AKTIVITAS ANAK

- Apakah anak sadar dan respon penuh?
- Apakah anak sangat lemas dan sulit untuk bangun?
- Apakah anak menangis dengan kuat ataukah lemah?
- Apakah anak masih dapat berkomunikasi dengan baik seperti biasa dan main seperti biasa?

3. KECUKUPAN CAIRAN (HIDRASI)

- Apakah asupan cairan cukup?
- Apakah anak masih dapat minum?
- Apakah mulut dan lidah tampak basah?
- Apakah jumlah air seni berkurang?
- Apakah frekuensi berkemih berkurang?
- Apakah cubitan kulit perut kembali dengan cepat?
- Apakah anak muntah hijau?

4. POLA NAPAS

- Apakah napas anak tampak cepat?
- Apakah saat napas anak merintih?
- Apakah terdapat tarikan dinding dada saat bernapas?

5. POLA DEMAM

- Apakah anak demam lebih dari 5 hari?
- Apakah anak anda berusia kurang dari 3 bulan dan demam lebih dari 38 C?
- Apakah usia anak 3-6 bulan dan demam lebih dari 39 C?

6. PERHATIKANLAH SENDI-SENDI

- Adakah pembengkakan sendi?
- Apakah gerakan anak terbatas karena terdapat kelumpuhan atau nyeri tungkai?

7. TANDA LAIN

- Perhatikan adakah perdarahan?
- Leher yang kaku?
- Atau ubun-ubun yang membonjol?

KAPAN PERLU MEMBAWA ANAK KE DOKTER?

- Usia anak kurang dari 3 bulan (kecuali anak anda pasca imunisasi DPT, demam dapat disebabkan karena efek samping imunisasi).
- Demam lebih dari 40,5 C
- Anak sulit dibangunkan
- Leher kaku
- Tidak mampu makan, menelan dan mengeluarkan banyak liur
- Kesulitan bernapas (sesak napas)
- Bercak-bercak biru keunguan pada kulit.
- Anak mengeluh rasa nyeri atau terbakar saat berkemih.
- Anak kejang
- Anda merasa ada yang tidak beres dan perlu pendapat dokter untuk menilainya

ANDA DAPAT MERAWAT ANAK DEMAM DENGAN CARA:

- Memberikan obat penurun panas
- Memberian cairan yang cukup, minum sedikit-sedikit tapi sering.
- Gunakan pakaian yang ringan, jangan membungkus anak berlebihan.
- Jika anak kedinginan dan menggigil dapat diselimuti dengan selimut yang tidak tebal.
- Jangan memberikan obat demam secara rutin, pantaulah pola demam anak dan berikan obat demam bila perlu.

Tips yang sangat penting dan jangan dilupakan adalah Perbanyak Do'a untuk kesembuhan si anak.

Semoga bermanfaat :)

Hati-hati Banyak Menonton TV Kurangi Kecerdasan Anak



Menonton televisi memang dapat memberikan hiburan sekaligus pelajaran, namun tidak bagi balita. Bahkan jika dilakukan terlalu banyak, menonton TV bisa menurunkan kecerdasan anak.

Sebuah studi baru menemukan, balita yang banyak menonton TV memiliki prestasi belajar yang lebih buruk di sekolah dibandingkan dengan anak lainnya yang tidak atau sedikit menonton TV. Lynne Murray, profesor psikologi perkembangan mengatakan, sangat jelas tidak ada manfaat yang didapat dari menonton TV bagi anak usia di bawah dua tahun.

Studi menemukan, anak yang menghabiskan banyak waktu di depan layar memiliki perbendaharaan kata yang lebih sedikit serta prestasi akedemis yang lebih buruk. Bahkan hubungan ini masih muncul meskipun sudah dimasukkan pula faktor kelas sosio-ekonomi.

Dalam bukunya, Psychology of Babies, Murray menegaskan untuk perlunya memberikan larangan bagi anak di bawah usia dua tahun untuk menonton TV. Tayangan TV selain bersuara keras, juga terlalu cepat pergerakannya untuk diikuti oleh otak anak kurang dari dua tahun.

Hal tersebut dapat menganggu kemampuan bermainnya dan interaksinya dengan saudara dan orangtuanya. Bahkan penempatan TV yang menyala di ruangan pun meski tak ditonton juga berdampak merusak.

"Ketika ada TV yang menyala diletakkan di kamar tempat anak bermain, fokus mereka akan terganggu," ujarnya.

Di sisi lain, ketika orangtua mendampingii anak saat menonton TV dan menjelaskan apa yang terjadi, maka itu akan mengurangi dampak negatifnya. Menonton program yang sama berulang-ulang juga membantu, karena hal itu akan memberikan kesempatan pada otak untuk memproses informasi dan sudah mampu membayangkan apa yang akan terjadi berikutnya.

Untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan otaknya, Murray menyarankan supaya anak mendapatkan tidur yang cukup setiap hari. Sayangnya, menonton TV yang dilakukan sebelum tidur akan menyulitkan otak untuk mendapat keadaan siap tidur.

Bagikan setiap postingan dari Sayang Anak dengan hastag #SAYANGANAK
 
Semoga bermanfaat

Sumber : kompas.com

Masih Berani Kasih Anak Gadget?



Di zaman yang serba teknologi ini semua orang pasti setiap harinya tidak lepas dari yang namanya gadget, tak terkecuali anak-anak. Di satu sisi memang bagus mengenalkan teknologi kepada anak, agar si anak tidak kaget yang namanya teknologi alias gaptek. Tapi disisi lain apakah para orang tua tahu bahaya yang ditimbulkan setelah mengenalkan gadget kepada anak yang terlalu dini? Orang tua yang kurang memperhatikan akan bahaya gadget mengakibatkan banyak pengaruh yang luar biasa terhadap anak itu sendiri. Berikut bahaya gadget yang ditimbulkan kepada anak :
Resiko radiasi elektromagnetik
 Berbeda dengan orang dewasa, tubuh anak-anak terutama anak yang berusia di bawah lima tahun sangat sensitif terhadap resiko bahaya dari lingkungannya. Kita ketahui bersama bahwa setiap gadget memiliki paparan elektromagnetik yang dapat mempengaruhi tubuh. Jangankan anak-anak, orang dewasa saja tidak disarankan untuk terpapar radiasi elektromagnetik dalam jangka waktu lama. Untuk anak 1-3 tahun yang saraf-sarafnya sementara berkembang, radiasi elektromagnetik dari lingkungan di sekitarnya dapat menghambat perkembangan tersebut. Akibatnya perkembangan kogintif anak berjalan lambat, anak susah berkonsentrasi dan akibat negatif lainnya.
Kemampuan psikomotorik berkurang
Menghabiskan waktu dengan gadget membuat kemampuan anak yang lain kurang berkembang, salah satunya adalah kemampuan psikomotorik anak. Padahal semestinya usia anak-anak adalah usia untuk mengeksplor seluruh bakat psikomotorik yang dimilikinya, seperti menggambar, bernyanyi, bermain bersama rekan sebaya dan kegiatan lainnya. Saat melakukan aktivitas fisik seperti ini, sejumlah kemampuan lain juga akan diasah sekaligus. Seperti saat menggambar, anak juga belajar mengembangkan otak kanannya. Saat bermain bersama rekan sebaya, anak akan belajar mengasah keterampilan sosialnya.
Kesulitan beradaptasi dengan materi pelajaran
 Aplikasi-aplikasi dan sistem operasi pada gadget menyajikan interaksi multimedia yang memikat. Permainan warna, animasi ditambah suara membuat anak betah berlama-lama di depan layar gadget. Pada saat masa sekolah tiba, anak yang terbiasa berinteraksi dengan gadget akan menemui kesulitan untuk menyerap materi pelajaran sekolah yang cenderung statis. Teks hitam putih, tanpa animasi, tanpa suara. Apalagi berhadapan dengan guru yang kurang lihai mengemas mata pelajaran menjadi menarik. Ini bisa menurunkan minat belajar anak.
Kecanduan
 Walau bahaya kecanduan lebih sering terjadi pada pengguna gadget yang usianya lebih dewasa, orang tua juga mesti tetap berhati-hati terhadap resiko kecanduan gadget pada anak-anak. Tanpa pengawasan dari orang tua, ada kemungkinan anak bisa menjadi gadget-holic alias kecanduan gadget.

So, masih berani kasih anak gadget di usia dini?

Semoga bermanfaat.

Senin, 14 September 2015

Hati-hati Untuk Anak Yang Suka Edit Fotonya Sendiri


Kemajuan akan teknologi membuat para pemakai media sosial semakin meningkat. Biasanya dalam akun media sosial harus adanya foto. Foto adalah hal yang sangat mendasar agar tahu identitas dari akun medsos tersebut. Banyak orang-orang dewasa sebelum mengunggah foto biasanya melakukan editing foto terlebih dahulu. Namun mirisnya hal itu tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa saja, tapi anak-anak pun sudah terbiasa melakukannya.

Menurut Kristy Goodwin, pakar anak dan teknologi, mengatakan pada anak, mengedit foto sebagus mungkin sebelum diunggah ke sosial media pada dasarnya demi mencari pengakuan dari luar sehingga mereka bisa mengukur 'nilai diri' mereka di mata orang lain, melalui likes atau komentar yang diterima.

Hal seperti itu, ternyata terjadi di usia yang cukup muda. Setidaknya, itulah yang ditemukan penelitian terbaru yang dilakukan AVG Technologies dan melibatkan 6.1117 orang di seluruh dunia. termasuk 335 orang dewasa dan 302 anak di Australia.

Sebanyak 41% responden remaja mengatakan senang mengedit fotonya sebelum diunggah ke sosial media karena ingin membuat foto mereka terlihat lebih lucu. Sementara, 26% responden lain mengaku ingin terlihat lebih baik dengan mengedit foto mereka. Sementara, 35% responden remaja mengatakan mereka tidak mengedit fotonya sama sekali.

"Setiap kegiatan mengedit foto demi mendapat kesempurnaan dari pihak luar memiliki konsekuensi untuk merusak citra diri dan kepercayaan diri para remaja putra dan putri," tegas Goodwin dalam siaran persnya seperti dikutip dari Essential Kids, Selasa (15/9/2015).

Menurut Goodwin, umumnya foto yang diunggah di sosial media diharapkan bisa mendapat penerimaan dari teman sebaya. Jika hal itu sudah didapat, maka remaja juga anak-anak bisa menganggap mereka telah melakukan sesuatu yang benar.

Efeknya pasti akan berbeda dibandingkan orang dewasa. Dikatakan Goodwin, orang dewasa sudah lebih memiliki banyak pengalaman dan pola pikirnya tidak terlalu memengaruhi hasil penerimaan foto yang diposting di sosial media.

"Meski kadang berusaha memposting foto yang sempurna juga bisa menyebabkan masalah pada orang dewasa, tetapi hal ini lebih rentan terjadi pada anakdan remaja. Di usia tersebut, kondisi psikologis mereka masih labil dan sedang dalam pencarian jati diri. Untuk itu, penting adanya pendampingan dari orang tua," pesan Goodwin.

Misalnya, selalu awasi penggunaan sosial media dan internet anak. Bertemanlah dengan anak di akun sosial medianya, dan yang paling penting menurut Goodwin, tanamkan pada anak bahwa setiap orang memiliki masing-masing kekurangan dan kelebihan yang sudah sepatutnya untuk disyukuri.

Semoga bermanfaat :)

Sumber : detik.com

Ini Penyebab Anak Sudah Besar Tapi Masih Suka Ngeces


Kesan imut dan lucu pada bayi yang air liurnya sering keluar dari mulut atau ngeces bisa hilang ketika kebiasaan tersebut terus berlanjut sampai tua.

Terkadang ada anak yang meski umurnya sudah cukup besar namun kebiasaan ngeces itu tetap masih ada. Hal ini dikatakan dokter tak wajar bila usia anak sudah di atas dua tahun.

dr Luh Wahyuni, SpKFR(K), dari Departemen Rehabilitasi Medis Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) mengatakan bila anak di atas dua tahun masih suka mengeluarkan air liur dari mulut, salah satu kemungkinannya adalah ada gangguan pada rahang bawah bayi.

"Bisa kemungkinan ada ototnya enggak kuat. Orang dalam semenit normalnya itu menelan ludah dua kali tapi kalau dia lemah ya jadi nggak bisa. Coba aja dites buka mulut terus nelan, bisa nggak?" kata dr Luh ketika ditemui di Hotel Grand Sahid dan ditulis pada Senin (14/9/2015).

Kemungkinan selanjutnya adalah adanya hambatan pada saluran napas. Anak yang pilek karena tak bisa bernapas lewat hidung maka ia akan gunakan mulutnya dan air liur juga jadi mudah untuk keluar.

dr Luh mengatakan pada bayi di bawah dua tahun kebiasaan ngeces ini tapi tak perlu dikhawatirkan.

"Kalau di bawah dua tahun dia ngeces bisa karena ada peralihan skill jadi misalnya dia dari enggak bisa duduk terus sekarang bisa, lalu ada pertumbuhan gigi, atau terlalu berkonsentrasi saat main jadi lupa menelan," pungkasnya.

Sumber : detik.com

Cara Alami Atasi Batuk Pilek Anak


Cuaca yang kurang bersahabat belakangan ini kerap mendatangkan penyakit batuk pilek pada anak-anak. Agar tak menjadi parah, lakukan penanganan berikut ini.

Batuk pilek yang dibiarkan begitu saja lambat laun akan berefek pada penyakit lainnya yakni demam, batuk berdahak dan hidung tersumbat. Dengan kondisi tersebut, tidur anak pun jadi terganggu. 

"Bila seorang anak sudah mengalami batuk pilek, segera langsung ditangani agar tidak berefek ke gejala sakit lainnya yaitu batuk berdahak, demam dan hidung tersumbat. Sebab apabila sudah dalam kondisi itu pemulihan anak akan lebih lama. Kemudian, cara penanganan awal untuk kondisi itu  ialah para orangtua memberikan minum air hangat. 

Hal ini bertujuan agar tarikan napas anak tidak terganggu, dan proses penyembuhan selanjutnya yaitu istirahat yang cukup bisa berhasil.  Bagaimana anak bisa sembuh cepat, kalau bernapas saja susah?, " tutur  Dr. S. Djokomuljanto, MMed (Paeds) SpA.  Dokter Spesialis Anak saat diwawancarai Okezone dalam acara yang bertema  Peluncuran 'Antangin Junior' Untuk Atasi Gejala Masuk Angin Pada Anak, di Restoran Kembang Goela, Jend. Sudirman-Jakarta.

Ia menjelaskan bahwa sebelum anak istirahat untuk memulihkan kesehatannya, buatlah lebih dulu lingkungan yang sehat untuk anak. Buatlah kondisi anak tetap hangat setiap waktu. Anda dapat menyetel suhu di kamar sesuai dengan kebutuhannya serta kalau perlu menyiapkan selimut agar pemulihannya lebih cepat. 

Selain itu, perhatikan pula saat anak-anak mengonsumsi makanan. Jagalah selalu kesehatan makanan dan kebersihan tangannya untuk mencegah virus masuk. 

"Memerhatikan makanan yang dimakan, saat anak berangsur membaik dari batuk-pilek sangat penting. Sebab kalau dibiarkan, alih-alih sembuh malah bisa buruk lagi keadaannya. Oleh karena itu,  hindari makanan yang kehigienisannya belum terjamin, agar kuman dan bakteri tidak berkembang lagi dalam tubuh anak. Selain itu, para orangtua juga harus mengajak anak untuk hidup sehat, seperti mencuci tangan sebelum makan. Alasannya, hal itu agar menghalangi kuman di tangan selepas pergi  bermain tidak masuk ke tubuh," terangnya.

Sumber: okezone.com

Orang tua jangan Lakukan ini! Karena berdampak pada masa depan anak


1. Anak yang dididik dibawah ancaman

“Kalau kamu tidak mau membersihkan kamarmu, semua mainanmu papa kasih ke orang lain!” anak seperti ini akan belajar hidup meneror, teman bahkan kelak pasangan hidupnya. Karena dia belajar untuk memenuhi kebutuhannya adalah dengan cara mengancam, seperti orang tuanya ingin mendidiknya (karena ketidaktahuannya) dengan baik dan membentuk perilakunya dengan ancaman. Disamping itu anak juga akan belajar melawan yang biasanya bertumbuh sesuai usianya, jika masih kecil melawannya kecil, jika sudah besar maka perlawanan besar.

Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas..; Kalau..; Nanti..; jika ini terus diulangi pada generasi anak kita maka yang terjadi adalah generasi sakit hati, dan generasi peneror. Ini adalah generasi yang akan mewariskan sakit hati dan perilaku meneror pada anak cucu kita dan orang-orang yang dicintainya.

Ada dua akibat penting dari sering mengacam anak. Anak akan belajar berbohong karena ketakutan diancam dan anak akan jadi anak yang penakut, dan sampai besar pun akan membawa sikap-sikap ini. Dan percayalah, pada beberapa kasus klinis yang saya tangani, sampai besar pun anak-anak yang sering diancam tetap akan hidup dalam ancaman. Baik dari rekan kerja, bahkan pasangannya.

Sebenarnya ada alternatif lain selain memberikan ancaman kepada anak. Coba kita perhatikan beberapa diantaranya:
  1. Ajukan pilihan. “Rapikan kamarmu sekarang supaya waktu menontonmu lebih lama, atau rapikan nanti dan kamu tidak bisa menonton acara favoritmu sama sekali.”
  2. Beri batasan. “Sepuluh menit lagi mama akan bereskan meja makannya, kalau kamu tidak makan sekarang, kamu bisa makan nanti malam saja.”
  3. Tetapkan aturan main: apa saja tugas atau kewajiban anak dan konsekuensinya jika ia tidak memenuhinya. Lakukan ini di awal sebelum ada pelanggaran, sehingga anak sudah tahu akibat yang akan ditanggungnya. Jadi, anda tidak lagi perlu mengancam, cukup mengingatkan saja!
2. Dampak dari berteriak kepada anak

Ada sebuah cerita bagus, salah satu kebiasaan yang ditemui pada penduduk yang tinggal di sekitar kepulauan Solomon, yang letaknya di Pasifik Selatan. Nah, penduduk primitif yang tinggal disana punya sebuah kebiasaan yang menarik yakni meneriaki pohon.

Untuk apa hal tersebut dilakukan? Kebisaan ini ternyata mereka lakukan apabila terdapat pohon dengan akar-akar yang sangat kuat dan sulit untuk dipotong dengan kapak. Inilah yang mereka lakukan, dengan tujuannya supaya pohon itu mati. Caranya adalah, beberapa penduduk yang lebih kuat dan berani akan memanjat hingga ke atas pohon itu. Lalu, ketika sampai di atas pohon itu bersama dengan penduduk yang ada di bawah pohon, mereka akan berteriak sekuat-kuatnya kepada pohon itu. Mereka lakukan teriakan berjam-jam, selama kurang lebih empat puluh hari. Dan apa yang terjadi kemudian sungguh sangat menakjubkan.

Pohon yang diteriaki itu perlahan-lahan daunnya mulai mengering, ini fakta! Setelah itu dahan-dahannya juga mulai rontok dan perlahan-lahan pohon itu akan mati dan mudah ditumbangkan. Wow, kalau diperhatikan apa yang dilakukan oleh penduduk primitif ini sungguhlah aneh.

Kita bisa belajar satu hal dari mereka. Mereka telah membuktikan bahwa teriakan-teriakan yang dilakukan terhadap makhluk hidup seperti pohon akan menyebabkan benda tersebut kehilangan rohnya. Akibatnya, dalam waktu singkat, makhluk hidup itu akan mati. Nah, sekarang, yang jelas dan perlu diingat bahwa setiap kali anda berteriak kepada mahkluk hidup tertentu maka berarti anda sedang mematikan rohnya. Pernahkah anda berteriak pada anak anda? Seperti: Ayo cepat! Dasar lelet! Bego banget! Begitu saja tidak bisa! Jangan main-main disini! Berisik!

Minder, takut berbuat salah, harga diri rendah, tertutup, bahkan menjadi pemarah adalah anak yang dibesarkan dengan cara seperti ini. Bentakan bukan solusi, bentakan dan teriakan adalah bentuk ketidakmampuan orang tua dalam menghadapi perilaku anak. Jadi apa solusinya? Belajarlah mengendalikan perilaku anak. Hal apa yang perlu dipelajari?

3. Dampak dari memukul anak

Anak yang sering mendapatkan pukulan karena kemarahan orang tua atas sikap dan perilaku anak, maka anak akan belajar satu hal penting, yaitu jika saya marah maka pukul. Kenapa? Karena dia dibesarkan dan sering melihat orang tuanya yang marah lalu memukul. Dari situ dia belajar, jika marah maka saya akan memukul. Maka jika di sekolah ada anak yang sering memukul bisa jadi anak tersebut sering dipukul di rumah.

Contoh kasus nyata, sewaktu saya menjadi guru beberapa tahun silam. Klien saya sebut saja Dodi. Dodi dibesarkan dengan penuh kekerasan dan kurangnya kasih sayang. Tidak jarang Dodi menerima kekerasan fisik dari ibu dan ayahnya. Setiap hari sang ayah dan ibu bekerja sampai larut, karena pada masa Dodi kecil kehidupan ekonomi keluarga tidak begitu baik. Sehingga sewaktu Dodi kecil, kurang mendapatkan kehangatan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Yang lebih parah sang ibu adalah orang yang cukup tempramen. jika marah pada Dodi, maka dengan mudahnya dia melampiaskan emosi tersebut dengan hukuman fisik (pukul), ini berlangsung sampai Dodi berumur 11 tahun (kelas 5 SD).

Orang tua merasa mencintai Dodi dengan memberikan berbagai fasilitas dan pemenuhan materi semata, tetapi Dodi tidak merasakan cinta yang orang tua berikan. Perasaan sebagai anak yang dicintai oleh orang tuanya tidak ada. Perasaan iri terhadap adiknya terus membayangi Dodi, karena adiknya selalu mendapat perhatian lebih dari orang tuanya, hanya karena sang adik memiliki kesamaan minat dengan sang ayah yaitu otomotif.

Setiap harinya Dodi selalu diantar-jemput kesekolah dengan ayahnya manggunakan mobil. Satu waktu Dodi sempat ke sekolah dan pulang berjalan kaki, jarak dari rumah ke sekolah sekitar 10 kilometer begitu sampai sekolah dia sudah kelelahan, terkadang jika terlambat ,dia masih harus mendapat konsekuensi lagi dari sekolah. Hal ini terjadi selama 2 minggu. Apa yang menyebabkan tidak diantar oleh orang tuanya? Hanya karena dia tidak mau mengambil piring kotor sisa makanan ayahnya di meja makan. Perasaan dendam yang membara kepada sosok ayah ditumbuhkan dengan sengaja oleh seorang ayah yang tidak mengerti kondisi tumbuh kembang anak.

Hingga akhirnya saya dapat kabar dari ibunya, di usia yang masih 14 tahun sang ayah di TKO dengan satu kali pukulan tepat di rahang sebelah kiri oleh Dodi. Ini kisah nyata dan mengenaskan. Anda sudah bisa menjawab bukan kenapa ini terjadi?

Dalam relasi sosial di sekolah, tidak banyak teman yang suka dengan Dodi, karena dia memiliki cara bergaul yang cukup “agresif”, jika bercanda suka memukul dan sentuhan fisik yang menjurus kasar. Tidak jarang perkelahian terjadi berulang kali. Pihak sekolah sudah memberikan banyak macam peringatan, dari panggilan orang tua sampai skorsing selama 2 minggu tetap tidak mampu mengubah perilakunya. Dodi mencari pengakuan untuk dirinya sendiri dengan menjadi orang yang menakutkan di sekolah, lebih tepatnya “preman sekolah”. Menolak dan menentang peraturan sekolah dan guru adalah hal yang sering terjadi dalam kesehariannya di sekolah. Tidak sungkan pula Dodi mengumbar jika dia dewasa nanti kedua orang tuanya akan disiksa, dan dimasukan ke dalam panti jompo.

Sampai tahap ini masihkah anda berpikir bahwa memukul anak adalah solusi mendidik anak yang tepat? Dalam kehidupan kita sehari-hari kita seringkali menjalankan sesuatu karena pengkondisian masa lalu dan tidak pernah kita pertanyakan, sehingga kualitasnya menjadi itu-itu saja. Kita pasrah dengan pengkondisian masa lalu dan menjadi manusia robot. Hal ini terjadi di rumah, di kantor, di sekolah dan di setiap aspek kehidupan kita. Kita seringkali melakukan sesuatu karena memang sudah begitulah kebiasaannya. Bahkan dalam cara berpikir pun hal ini terjadi. “Saya ini sekringnya cepat putus sehingga mudah marah, jadi jangan buat sesuatu yang bisa meledakkan saya” atau “Saya tidak bisa pegang uang, kalau ada uang di tangan pasti cepat habis. Ada saja alasan untuk mengeluarkan uang saat saya pegang uang banyak” adalah beberapa contoh pengkondisian pikiran yang telah menjadi keyakinan dalam diri seseorang. Ada banyak sekali contoh seperti diatas dalam kehidupan kita.

Kita adalah makhluk yang dibentuk oleh segudang pengalaman, seperangkat lingkungan serta pengkondisian masa lalu. Kita bisa melakukan ketiga hal diatas (ancam, teriak, pukul) karena apa? Karena kita dulu mengalami dan melihat. Mendidik anak bagaikan rantai yang tidak putus, jika anda dibesarkan dengan cara dibentak, ya anda akan membentak anak anda, sederhana bukan program itu tertanam dalam benak anda.

Pahami dan resapi makna kata ini, saat seseorang tetap meyakini pengkondisian seperti itu dalam dirinya maka ia tidak berkembang dalam sebuah kesadaran diri. Ia hanyalah sebuah robot masa lalu yang bergerak dimasa sekarang dan tanpa ada perubahan.

Pertanyaan saya, jika anda boleh jujur. Apakah anda senang diperlakukan seperti ketiga hal diatas? Pertanyaan yang sama, apakah anak juga senang diperlakukan hal yang sama? Seperti judulnya Anak Pelengkap Derita Orang Tua, orang tua yang dahulu yang menderita karena dibesarkan dengan cara yang salah, akan meneruskan hal ini karena ketidaktahuan mereka. Kemungkinan juga orang tua seperti ini belum menyelesaikan masalah dengan masa lalunya, dan masih terus menyimpan beberapa kenangan pahit dimasa kecilnya dan terus terbawa hingga masa sekarang. Menderita secara batin, serta terjadi konflik diri dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Anda kenal dengan orang semacam ini? Saya memiliki seorang kenalan baik yang mengalami hal ini, yaitu diri saya sendiri.

Pada intinya semua orang dewasa (guru) dan orang tua, kita semua ini, memegang peran sebagai role model atau contoh dan panutan untuk anak-anak di sekitar kita, baik itu anak kita sendiri atau bukan. Jadi walaupun secara formal kita bukan guru, tetapi pada intinya kita semua adalah juga guru, seorang pendidik.

Ya, kita semua adalah guru dan orang tua pada saat bersamaan, seorang pendidik untuk siapa saja yang berada di sekitar kita dengan semua tindakan dan kata-kata kita. Sehingga PENTING sekali bagi kita untuk melakukan hal-hal yang akan mempertahankan bekal sukses penting titipan Tuhan pada anak-anak kita, atau bahkan semakin menguatkan bekal sukses dan kaya tersebut. Kini dijaman yang semakin maju dan modern hendaknya kita mau terbuka dalam pemikiran, dan memahami tumbuh kembang anak dengan baik dan benar agar generasi kedepan semakin baik dan mewariskan hal-hal yang memberdayakan.

Sumber : www.pendidikankarakter.com